LensaNewsBanten – Ekonomi sektor informal di Kabupaten Lebak kian tumbuh pesat, salah satunya Pedagang Kaki Lima atau PKL yang jumlahnya terus membengkak.
Di Pasar Rangkasbitung misalnya, berdasarkan keterangan Dinas Perdagangan (Disperindag) setempat ke sejumlah media, jumlah PKL sekitar 800 orang.
Bila melihat fakta yang ada, pedagang tak hanya menempati kios, namun ada pula yang menempati ruang-ruang publik di area pasar tersebut seperti lorong pasar hingga jalur parkir. Urban space menjadi alternatif, karena mereka anggap strategis dan juga ekonomis.
Pasar subuh
Hal itu belakangan yang kini menimbulkan fenomena pasar Subuh di Jalan Sunan Kalijaga akses jalan utama Pasar Rangkasbitung. Menjelang dini hingga pagi, ruas jalan itu berubah menjadi pasar tumpah.
Pasar Subuh jadi alternatif yang efisien dan ekonomis bagi para PKL untuk membuka lapak berjualan. Terlebih Jalan Sunan Kalijaga sebagai zona Pasar Subuh dianggap sangat strategis.
Atas fenomena itu, pihak Disperindag sendiri mengeluarkan aturan waktu operasional para PKL pasar subuh. Mereka boleh beroperasi dari dini hari pukul 06.00 WIB.
Semrawut dan macet
Hanya saja, meski ditetapkan aturan. Namun tetap saja keberadaan aktivitas PKL di Pasar Subur kerap membuat kesemrawutan dan macet. Apalagi PKL merangsek sampai ke tengah badan jalan, belum lagi ada segelintir PKL yang berjualan melewati batas waktu yang telah ditentukan.
Pasar Subuh di Jalan Sunan Kalijaga serasa jalur ‘sutra dan surga’ bagi PKL. Tapi sebaliknya, keberadaannya serasa ‘neraka’ bagi pengendara, karena kerap menyebabkan kemacetan.
Yang menjadi pertanyaan penulis, aktivitas berjualan di ruas jalan tersebut apakah legal atau ilegal?. Karena jika mengacu pada UU LLAJ, menganggu fungsi jalan dan fasilitas pejalan kaki di trotoar atau jalan dapat dikenakan sanksi pidana.
Sanksi pidananya pun tidak main-main, pelanggar bisa dikenai pidana penjara paling lama 1 tahun dan dengan paling banyak Rp 24 juta.
Selain itu, apakah selama ini para PKL di Pasar Subuh itu tetap dikenakan membayar retribusi?. Jika iya, apakah retribusi yang ditarik dari PKL legal sebagai salah satu Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pasar. Sehingga penulis menilai jika retribusi ditarik dari PKL, maka penulis menyebutnya dengan istilah “kabut”, karena tidak jelas payung hukumnya.
Penertiban dan penataan PKL
Selama ini upaya penertiban PKL terus dilakukan pemerintah daerah setempat. Seperti pada tahun 2022 silam, melakukan penertiban dan penataan terhadap PKL yang berada di Jalan Sunan Kalijaga. Kala itu, proses penertiban sempat mendapatkan aksi protes dari PKL.
Namun, akhirnya para PKL itu pun hanya bisa pasrah setelah lapaknya dibongkar petugas. Para PKL eks penertiban oleh Pemkab Lebak dijanjikan akan direlokasi ke pasar baru.
Namun, penertiban hanya untuk PKL yang berjualan di siang hari. Sementara PKL yang berjualan dari dini hari hingga subuh atau disebut Pasar Subuh tetap beroperasi seperti biasa hingga saat ini.
Pasar baru Kandang Sapi
Kemudian pada tahun 2023, Pemkab Lebak merealisasikan pembangunan pasar baru Kandang Sapi, Desa Narimbangmulya, Kecamatan Rangkasbitung. Anggarannya bersumber dari Kemendag RI sekitar Rp 2,7 Miliar.
Pembangunan pasar itu ditargetkan selesai pada Desember 2023. Pasar dilengkapi sebanyak 22 kios, dengan hamparan lapak pedagang dengan kapasitas 161 unit.
Tahun sebelumnya, Pemkab Lebak juga sudah membangun pasar Gajrug Cipanas. Ironisnya, kios di pasar itu hanya diisi pedagang pada saat diresmikan Bupati saja. Sedangkan setelah itu sejumlah kios kosong karena ditinggal pedagang hingga saat ini.
Kasus Pasar Gajrug yang ditinggal para pedagang tentunya harus dijadikan bahan evaluasi Pemkab Lebak. Jangan sampai Pasar Kandang Sapi malah bernasib sama dengan pasar Gajrug.
Namun demikian, kita berharap itu tidak sampai terjadi, sehingga tujuan utama dibangunnya pasar Kandang Sapi bisa meningkatkan roda perekonomian masyarakat, khususnya para pedagang.***
Oleh: Galuh Malpiana
Penulis adalah wartawan warga Kabupaten Lebak